Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari
raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah
semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak
melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk
disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada bulan ini, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan
shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban
bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi
Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Peristiwa ini memberikan pelajaran dan kesan yang mendalam
bagi kita. Betapa tidak, Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati
selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri.
Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Allah atau
mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintah Allah.
Sebuah pilihan yang cukup dilematis, seperti buah simalakama. Namun karena
didasari ketakwaan yang kuat, perintah Allah pun dilaksanakan. Demikian juga
Ismail selaku anak yang patuh dan berbakti kepada orangtua ikhlas dan bersedia
mengikuti ayahanda Nabi Ibrahim sama-sama demi menjalankan perintah Allah. Namun
pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dan digantikan seekor domba. Cerita
sejarah mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al-Shaffat ayat
102-109.
Kisah antara Nabi Ibrahim dan putranya Ismail tersebut
merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai
Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi
Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Nabi
Ismail dengan membaktikan dirinya kepada orangtua melepaskan egonya demi sang
ayah dalam menjalankan perintah Allah SWT. Model ketakwaan Nabi Ibrahim dan berbaktinya
Nabi Ismail ini patut untuk kita teladani.
Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap
ajaran agama. Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa
dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah
menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan
tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa
pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam
magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal
Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs).
Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan
pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak
hidup manusia. (hlm. 220 ).
Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi
mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri.
Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi
kejayaan Islam atau justru sebaliknya?
Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai
dengan nilai universal Islam. Islam menjaga
hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru
mencelakakan dirinya sendiri. Di samping
itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa
berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka
bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam
sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi
nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus
darah manusia.
Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan
tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi
pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan
yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras
dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311).
Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar
tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para
teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu
sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan
rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas
dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula
radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi
Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan
pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan
untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban
ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan
ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang
bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain
sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara
jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum
dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk
mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan
terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi
terhadap sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13
Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas
kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang
disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat
untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya
berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan
kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu
ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya.
Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum
untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan
sosial. Selamat berhari raya !
Di sarikan dari Yusuf
Fatawie di pesantren virtual.com
No comments:
Post a Comment